Sunday, August 30, 2009

TETANUS

PENANGANAN PADA ANAK

Penyebabnya adalah clostridium tetani
eksotoxin = tetanolisin yg menyebabkan hemolisis eritrosit tetapi tidak berperan pada penyakit tetanus.
tetanospasmin yang sangat poten terhadap saraf.

tetanus lokal
1. kekakuan otot yang dekat dengan tempat invasi kuman.
2. nyeri terus menerus dan unyielding
3. berlangsung beberapa minggu atau bulan lalu hilang tanpa bekas.

tetanus sefalik
1. port d'entri di kepala, leher, mata, telinga
2. inkubasi 1-2 hari
3. karakteristik ; kelumpuhan saraf II, IV, VII, IX, X, DAN XII sendiri atau kombinasi
4. prognosis quo ad vitam jelek

tetanus generalisata
1. mengenai seluruh otot skelet
2. iritable, trismus, risus sardonikus, kesulitan menelan
3. kaku kuduk, opistotonus, kekakuan extremitas, kekakuan otot abdomen
4 disfagia & fotofobia
5. kejang generalisata akibat pacuan ringan = sentuhan, angin, suara, cahaya, hentakan

Tatalaksana
1. TAT HIPERIMUN GLOBULIN 3000-6000 UI atau anti toksin kuda 100.000 UI separuh im separuh iv
2. perawatan luka, debridemen, bersihkan luka, biarkan luka terbuka.
antibiotik penisilinG 100.000 ui/kgbb/6jam selama 10 hari atau tetrasiklin 25-50 mg/kgbb/hr dalam 3 dosis.

3. berantas kejang
secobarbital 6-10 mg/kgbb im tiap 2 jam
CPZ 4-12 mg pada bayi tiap 4-8 jam
Diazepam 0,1-0,2 mg/kgbb/3-6 jam iv 2- 6 minggu.

supartip
hindari rangsangan, oksigen, bebaskan jalan nafas, diet TKTP

Wednesday, August 26, 2009

MATERNAL MORTALITY

KEMATIAN MATERNAL


Definisi :

Kematian maternal adalah kematian dari setiap wanita waktu hamil, persalinan dan dalam 90 hari sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab apapun, tanpa memperhitungkan tuanya kehamilan dan tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan (WHO)


Angka kematian maternal adalah jumlah kematian maternal diperhitungkan terhadap 1000 atau 10.000 kelahiran hidup atau persalinan.


PENYEBAB KEMATIAN MATERNAL

  1. Sebab obstetrik langsung

Adalah kematian ibu karena akibat langsung dari penyulit pada kehamilan, persalinan dan nifas. Misalnya karena infeksi, eklamsi, perdarahan, emboli air ketuban, trauma anestesi, trauma operasi dan sebagainya.

  1. Sebab obstetrik tidak langsung

Adalah kematian ibu akibat penyakit yang timbul selama kehamilan, persalinan dan nifas. Misal anemia, penyakit kardiovaskuler, serebro vaskuler, hepatitis infeksiosa, penyakit ginjal dan lain sebagainya.

  1. Sebab bukan obstetrik

adalah kematian ibu hamil, melahirkan maupun nifas akibat kejadian-kejadian yang tidak ada hubungannya dengan proses reproduksi dan penanganannya. Misalnya karena kecelakaan, kebakaran, tenggelam, bunuh diri dan sebagainya.

  1. Sebab yang tidak jelas

Adalah kematian ibu yang tidak dapat digolongkan pada salah satu sebab yang tersebut di atas.


FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMATIAN MATERNAL


  1. Faktor umum

Masih adanya perkawinan, kehamilan dan persalinan diluar kurun waktu reproduksi, terutama usia terlalu muda. Usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun mempunyai resiko kematian 3x lebih tinggi dari usia reproduksi sehat (20-35 th)

  1. Faktor paritas

Grandemultipara atau ibu dengan lebih dari 6 kali persalinan. Mempunyai resiko kematian 8x lebih tinggi.

  1. Faktor perawatan ante natal

Rendahnya kesadaran untuk memeriksakan kehamilan sejak bulan pertama, sehingga penyakit yang seharusnya dapat dicegah menjadi terlambat dan dating sudah dalam kondisi yang buruk.

  1. Faktor penolong

Persalinan masih banyak dibantu dukun beranak yang tidak terlatih, mereka baru minta pertolongan bidan atau dokter setelah muncul komplikasi berat yang mengancam nyawa.

  1. Faktor sarana dan fasilitas

Sarana penunjang persalinan di rumah sakit, misalnya ketersediaan darah, fasilitas anestesi, kamar operasi dan transportasi yang memadai.

  1. Faktor lainnya

Factor sosial, ekonomi, pendidikan, kepercayaan dan budaya.

  1. Faktor system rujukan

Pemerintah mengupayakan adanya bidan disetiap ibukota kabupaten, tetapi sampai sekarang belum seluruhnya terpenuhi sehingga system rujukan kurang berjalan baik.

Monday, August 24, 2009

MESRA SAAT PUASA

Puasa dan seksual

Kemesraan dan aktivitas seksual adalah kunci utama keharmonisan dalam berumah tangga. Komunikasi seksual sama pentingnya dengan komunikasi verbal sehari-hari, harus didiskusikan, harus ada kesepakatan dan membahagiakan kedua belah pihak.

Dibulan puasa ini, komunikasi seksual juga harus tetap terjaga. meskipun ada sedikit perubahan aktivitas seksual terutama pada siang hari.

Berikut ini beberapa tips menjaga keharmonisan dan komunikasi seksual selama bulan puasa :

1. Perbanyak beribadah bersama, sehingga rasa sayang tetap terjaga dan rasa rindu akan semakin menumpuk.
2. Jangan melakukan aktivitas seksual pada keadaan perut kosong, karena energi yang tersisa tidak mencukupi untuk melakukan aktivitas seksual yang prima. Lakukanlah setelah berbuka puasa.
3. Jangan melakukan hubungan seksual dalam keadaan perut kekenyangan, karena akan menimbulkan rasa tidak nyaman di perut. Biarkan makanan tercerna sekitar 2 jam.
4. Waktu yang tepat untuk melakukan hubungan seksual adalah menjelang sahur. Sekitar jam 2-3 pagi. Hal ini karena makanan dalam lambung sudah tercerna dan energi sudah pulih.
5. Mandi bersama dengan air hangat setelah aktivitas seksual merupakan hal romantis dan menyenangkan. Setelah itu laksanakan sahur bersama.
6. Menu makanan harus memenuhi unsur empat sehat-lima sempurna sehingga asupan makanan memenuhi unsur karbohidrat, protein, mineral, serat, dan multivitamin.

Selamat berpuasa dengan pasangan hidup anda!

Friday, August 21, 2009

Hiperemesis Gravidarum (HG)

Hiperemesis Gravidarum (HG)

Definisi

Mual dan muntah merupakan gejala yang wajar ditemukan pada kehamilan triwulan pertama. Biasanya mual dan muntah terjadi pada pagi hari sehingga sering dikenal dengan morning sickness. Sementara setengah dari wanita hamil mengalami morning sickness, 1,5 – 2 % mengalami hiperemesis gravidarum, suatu kondisi yang lebih serius. Hiperemesis gravidarum sendiri adalah mual dan muntah hebat dalam masa kehamilan yang dapat menyebabkan kekurangan cairan, penurunan berat badan, atau gangguan elektrolit sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari dan membahayakan janin di dalam kandungan. Pada umumnya HG terjadi pada minggu ke 6 - 12 masa kehamilan, yang dapat berlanjut sampai minggu ke 16 – 20 masa kehamilan.

Penyebab

Penyebab dari hiperemesis gravidarum belum diketahui namun diperkirakan berhubungan dengan kehamilan pertama; peningkatan hormonal pada kehamilan, terutama pada kehamilan ganda dan hamil anggur; usia di bawah 24 tahun; perubahan metabolik dalam kehamilan; alergi; dan faktor psikososial. Wanita dengan riwayat mual pada kehamilan sebelumnya dan mereka yang mengalami obesitas (kegemukan) juga mengalami peningkatan risiko HG. Faktor risiko terjadinya hiperemesis gravidarum diantaranya adalah :
  • Level hormon ß-hCG yang tinggi. Hormon ini meningkat cepat pada triwulan pertama kehamilan dan dapat memicu bagian dari otak yang mengontrol mual dan muntah
  • Peningkatan level estrogen. Mempengaruhi bagian otak yang mengontrol mual dan muntah
  • Perubahan saluran cerna. Selama kehamilan, saluran cerna terdesak karena memberikan ruang untuk perkembangan janin. Hal ini dapat berakibat refluks asam (keluarnya asam dari lambung ke tenggorokan) dan lambung bekerja lebih lambat menyerap makanan sehingga menyebabkan mual dan muntah
  • Faktor psikologis. Stress dan kecemasan dapat memicu terjadinya morning sickness
  • Diet tinggi lemak. Risiko HG meningkat sebanyak 5 kali untuk setiap penambahan 15 g lemak jenuh setiap harinya
  • Helicobacter pylori. Penelitian melaporkan bahwa 90% kasus kehamilan dengan HG juga terinfeksi dengan bakteri ini, yang dapat menyebabkan luka pada lambung

Derajat hiperemesis gravidarum

Hiperemesis gravidarum terbagi atas beberapa derajat sesuai dengan tanda dan gejala yang dialaminya, yaitu :
  • Derajat 1

Muntah terus menerus (muntah > 3-4 kali/hari, dan mencegah dari masuknya makanan atau minuman selama 24 jam) yang menyebabkan ibu menjadi lemah, tidak ada nafsu makan, berat badan turun (2-3 kg dalam 1-2 minggu), nyeri ulu hati, nadi meningkat sampai 100x permenit, tekanan darah sistolik menurun, tekanan kulit menurun dan mata cekung

  • Derajat 2

Penderita tampak lebih lemah dan tidak peduli pada sekitarnya, nadi kecil dan cepat, suhu kadang-kadang naik dan mata sedikit kuning. Berat badan turun dan mata menjadi cekung, tekanan darah turun, pengentalan darah, urin berkurang, dan sulit BAB. Pada napas dapat tercium bau aseton

  • Derajat 3

Keadan umum lebih parah, muntah berhenti, kesadaran menurun sampai koma, nadi kecil dan cepat, suhu meningkat, dan tekanan darah turun. Pada jabang bayi dapat terjadi ensefalopati Wernicke dengan gejala: nistagmus, penglihatan ganda, dan perubahan mental. Keadaan ini akibat kekurangan zat makanan termasuk vitamin B kompleks. Jika sampai ditemukan kuning berarti sudah ada gangguan hati

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan keton urin (air seni), serta elektrolit darah.

Tatalaksana

Tatalaksana hiperemesis gravidarum sangat beragam tergantung dari beratnya gejala yang terjadi. Tatalaksana dini dapat berpengaruh baik pada pasien. Ketika menatalaksana ibu dengan HG, pencegahan serta koreksi kekurangan nutrisi adalah prioritas utama agar ibu dan bayi tetap dalam keadaan sehat.
Pasien dapat dirawat karena mual dan muntah yang berlebihan disertai koreksi untuk gangguan elektrolit dan cairan. Pemberian nutrisi oral (melalui mulut) dapat diberikan pada pasien secara perlahan-lahan, dimulai dengan makanan cair, kemudian meningkat menjadi makanan padat dalam porsi kecil yang kaya akan karbohidrat. Saran-saran yang diberikan pada ibu yang mengalami HG adalah:
  • Menyarankan ibu hamil untuk mengubah pola makan menjadi lebih sering dengan porsi kecil
  • Menganjurkan untuk makan roti kering atau biskuit dan teh hangat dan menghindari makanan berminyak serta berbau lemak
  • Jika dengan cara diatas tidak ada perbaikan maka ibu hamil tersebut diberi obat penenang, vitamin B1 dan B6, dan antimuntah
  • Perawatan di Rumah sakit bila keadaan semakin memburuk
  • Cairan infus yang cukup elektrolit, karbohidrat dan protein. Bila perlu ditambahkan vitamin B kompleks, vitamin C, dan kalium
  • Terapi psikologis apabila penanganan dengan pemberian obat dan nutrisi yang adekuat tidak memberikan respon

Pencegahan

Wanita yang mulai mengkonsumsi vitamin sejak kehamilan dini dapat menurunkan risiko hiperemesis gravidarum. Satu kali gejala HG muncul, maka perlu penatalaksanaan sejak dini agar tidak terjadi perburukan.

klikdokter

SAYUR BAYAM

BAYAM SEBAGAI ANTI OKSIDAN DAN PENCEGAH KANKER


Masyarakat Indonesia tentu sangat familier dengan sayuran yang satu ini. Bayam, dibedakan menjadi bayam merah dan bayam hijau. Bayam hijau dibagi dua yaitu bayam cabut/ amarantus tricolor L. (yang dijual beserta akarnya) dan bayam tahun / amarantus hybridus L.(yang dijual dalam lembaran atau potongan). Bayam yang lebih disukai adalah yang jenis cabut, karena lebih lunak teksturnya serta lebih enak.

Anti oksidan dan anti kanker

Bayam banyak mengandung vitamin, protein, karbohidrat, lemak, mineral dan serat. WHO mendaulat bayam sebagai jenis sayuran kategori excellent untuk kandungan vitamin K,A, C, B2, B6 dan folat. Kandungan vitamin B1 dan E termasuk kategori very good. Bayam juga mengandung zat besi, magnesium, mangan, kalium dan kalsium yang menurut WHO juga dalam kategori excellent. Serat bayam juga tinggi, sehingga mencegah kanker pencernaan dan mencegah sembelit.

Menurut pakar gizi Prof.DR.IR.Made Astawan, kandungan vitamin K dalam bayam sangat tinggi. Hal ini berguna untuk menghambat pembekuan darah dan juga anti oksidan. Vitamin K juga mencegah terjadinya stroke akibat pengerasan pembuluh darah oleh plak kalsium. Vitamin K juga lebih baik dari vitamin E dalam hal mencegah penuaan dini serta anti oksidan yang baik.

Vitamin K juga bertindak sebagai anti kanker. Vitamin K merupakan zat racun bagi sel kanker, tetapi aman untuk sel – sel sehat yang lain.

Vitamin A dalam bayam juga tinggi. Vitamin A berperan dalam menjaga kesehatan penglihatan, menjaga kesehatan saluran cerna, meningkatkan kekebalan tubuh, memelihara sel kulit serta mempengaruhi pertumbuhan tulang dn gigi.


Peranan zat besi dalam bayam juga penting. Zat besi merupakan komponen yang penting dalam pembentukan hemoglobin, sehingga dapat mencegah anemia untuk ibu hamil, dan melancarkan menstruasi.

Flavonoid yang terkandung dalam bayam juga mampu mencegah pertumbuhan sel kanker juga sebagai anti oksidan. Flavonoid dalam bayam berjenis p-cumaric acid dan 9-cis-carotene. Keratinoid neoxantin dalam bayam dirubah jadi neokrom yang dapat mencegah kanker prostat.

Perhatian!!

Dalam mengolah sayur bayam harus diperhatikan hal sebagai berikut :

  • bayam mengandung ferro (zat besi), jika terlalu lama kontak dengan udara akan diubah menjadi ferri (fe3) yang bersifat toxic bagi tubuhy.
  • Bayam juga mengandung nitrat dan akan berubah menjadi nitrit jika teroksidasi terlalu lama dan bersifat racun bagi tubug

Racun ferri dan nitrit ini akan bertambah banyak jika sayur bayam didiamkan atau dimasak berulang-ulang. Oleh karena itu tidak disarankan melakukan pemanasan berulang-ulang pada sayur bayam. Jangan mengkonsumsi sayur bayam yang telah dimasak lebih dari 4 jam.


dokterkita

Thursday, August 20, 2009

MAAG SEMBUH DENGAN PUASA

Puasa merupakan kewajiban bagi umat muslim. Hal ini juga berlaku pada orang yang menderita sakit maag. Beberapa penderita sakit maag justru sembuh setelah berpuasa.

Bagai mana bisa terjadi?


Sakit maag sebenarnya masuk dalam sindroma dyspepsia, yaitu rasa tidak nyaman, penuh, perih, mual, muntah bahkan nyeri yang hebat sampai ketulang belakang.

Ditinjau dari jenisnya, sakit maag dibedakan menjadi 2 yaitu maag organik dan maag non-organik. Maag organik yaitu sakit maag yang telah terjadi selama menahun/kronis dan jika dilakukan pemeriksaan endoskopi maka akan terlihat kerusakan mukosa, ulkus, polip bahkan kanker di saluran pencernaan.

Sedangkan sakit maag non-organik adalah rasa tidak nyaman diperut, perih, seperti terbakar bahkan mual muntah, tetapi jika dilakukan pemeriksaan gastroenterology / endoskopi maka tidak ditemukan kelainan sedikit pun.

Sakit maag non-organik juga dikenal sebagai dyspepsia fungsional. Penyebab utama gangguan maag fungsional terletak pada keterlambatan / ketidakteraturan pola makan, camilan yang tidak sehat, dan stress atau beban pikiran yang terlalu berat.

Pada pasien yang mengalami gangguan maag fungsional ini, pada saat puasa maka akan mengalami perbaikan gejala bahkan sembuh. Hal ini terkait dengan :

  1. berpuasa akan membuat jadwal makan (sahur dan buka puasa) akan teratur. Sehingga waktu produksi asam lambung akan sinkron dengan waktu makanan masuk kedalam lambung.
  2. Saat puasa maka rokok, minuman beralkohol, minyak, minuman bersoda lebih sedikit masuk ke saluran pencernaan karena sedang puasa.
  3. Camilan yang tidak sehat tidak dikonsumsi karena sedang puasa.
  4. Puasa akan meningkatkan rasa sabar sehingga tingkat stress akan jauh berkurang

Karena hal-hal itulah maka tak jarang penderita maag fungsional akan mengalami perbaikan gejala bahkan sembuh dari sakit maag yang dideritanya.

Pada pasien dengan maag organik memang terkadang terasa berat untuk minggu pertama, tetapi biasanya akan mengalami perbaikan gejala pada minggu kedua. Konsep penanganan pada pasien sakit maag adalah makan dalam jumlah sedikit tetapi lebih sering. Hal ini menjadi tidak mungkin karena pasien harus berpuasa selama 14 jam. Guna mengurangi gejala, maka pasien dianjurkan tetap mengkonsumsi obat-obatan yang dapat mengendalikan produksi asam lambung. Selain itu pada saat berbuka ataupun sahur diupayakan tidak kekenyangan dan menghindari makanan yang merangsang lambung serta memproduksi gas lambung. Dengan bantuan obat pengendali asam lambung, diharapkan pasien penderita maag akan tetap khusuk menjalankan ibadah puasanya.

Tuesday, August 18, 2009

MDR-TB

HOW TO PREVENTED AND MANAGE OF MDR-TB

INTRODUCTION
Tuberculosis (TB) is a medical, social, and economic disaster of immense magnitude that is occurring the world over.[1] Strains of Mycobacterium tuberculosis that are resistant to both isoniazid and rifampicin with or without resistance to other drugs have been termed multidrug-resistant strains. Isoniazid and rifampicin are keystone drugs in the management of TB. While resistance to either isoniazid or rifampicin may be managed with other first-line drugs, multidrug-resistant TB (MDR-TB) demands treatment with second-line drugs that have limited sterilizing capacity, and are less effective and more toxic. MDR-TB is one of the most worrisome elements of the pandemic of antibiotic resistance.[2,3]


EPIDEMIOLOGY
This is the fourth report of the WHO/IUATLD Global Project on Anti-Tuberculosis Drug
Resistance Surveillance. The three previous reports were published in 1997, 2000 and 2004 and included data from 35, 58 and 77 countries, respectively. This report includes drug susceptibility test (DST) results from 91,577 patients from 93 settings in 81 countries and 2 Special Administrative Regions (SARs) of China collected between 2002 and 2006, and representing over 35% of the global total of notified new smear-positive TB cases. It includes data from 33 countries that have never previously reported. New data are available from the following high TB burden countries: India, China, Russian Federation, Indonesia, Ethiopia, Philippines, VietNam, Tanzania, Thailand, and Myanmar. Between 1994 and 2007 a total of 138 settings in 114 countries and 2 SARs of China had reported data to the Global Project [4].

The population weighted mean of MDR-TB among all TB cases from the 114 countries and 2 SARs of China that have reported to the global project is 5.3% (95% CLs, 3.9-6.6), but ranges from 0% in some western European countries to over 35% in some countries of the former Soviet Union. In terms of proportion, the countries of the former Soviet Union are facing a serious and widespread epidemic where the population weighted average of countries reporting indicates that almost half of all TB cases are resistant to at least one drug and every fifth case of TB will have MDR-TB. MDR-TB cases in this region have more extensive resistance patterns including some of the highest proportions of XDR-TB.[4].

CAUSES OF MDR_TB
“Spigots” contributing to the problem of antituberculous drug resistance
1. Incomplete or inadequate therapy selects drug-resistant mutants of M. tuberculosis
2. Prolonged infectiousness of patients due to delayed diagnosis of MDR and to the
absence of effective therapy allows ongoing transmission of drug-resistant strains to
susceptible contacts
3. Patients sick with drug-resistant TB treated with short-course chemotherapy are less
likely to be cured, diminishing the epidemiologic effect of such treatment on
transmission
4. Patients sick with drug-resistant TB exposed to short-course chemotherapy can acquire
Further resistance through inadvertent monotherapy (“the amplifier effect”)
5. HIV co-infection can shorten the period from TB infection to disease, also leading to
Lengthier periods of infectiousness

Inadequate Treatment Adherence:
Nonadherence to prescribed treatment is often underestimated by the physician and is difficult to predict. In the West, demographic factors such as age, sex, marital status, education level, and socioeconomic status have not been found to correlate with the degree of treatment adherence. On the other hand, certain factors such as psychiatric illness, alcoholism, drug addiction, and homelessness do predict non adherence to treatment.[3] The directly observed treatment, short course (DOTS) strategy, which has been endorsed by the WHO as the only effective way to control TB, has to some extent addressed these problems.[6,7]

MANAGEMENT

Principles of Management
When MDR-TB is suspected on the basis of history or epidemiologic information, the patient’s sputum must be subjected to culture and anti-TB drug-sensitivity testing. These patients may be started on WHO category II treatment [10] (under program conditions/DOTS strategy) or the regimens employing various drugs (Table 3), such as those suggested by the American Thoracic Society, the Centers for Disease Control and Prevention (CDC), and the Infectious Diseases Society of America [9] pending sputum culture report.
Further therapy is guided by the culture and sensitivity report. These guidelines clearly mention that a single drug should never be added to a failing regimen. Furthermore, when initiating treatment, at least three previously unused drugs must be employed to which there is in vitro susceptibility.[9,10]

Need for Standard Definitions
No randomized controlled trials exist addressing the issue of the optimal management strategy for MDR-TB. As in the case with the DOTS strategy, the systematic study of the efficacy of DOTS-Plus regimens requires the standardization of definitions for MDR-TB case registration and treatment outcomes.

DOTS-Plus Strategy
DOTS is a key ingredient in the TB control strategy. In populations in which MDR-TB is endemic, the outcome of the standard short-course regimen remains uncertain.[11].
Probable reduction in level of drug-resistance after treatment outcome following DOTS implementation 10 years (1991-2000) in one-half of China’s population, were excellent and improved over time. Overall, the cure rate was 95% and 90% for new and previously treated (relapse and other retreatment) cases, respectively (Table 1). From the first to the sixth year of DOTS implementation, the cure rate for both new and previously treated cases improved, while the treatment failure rate and death rate both decreased. Roughly two-thirds of the eventual improvement in treatment outcomes took place between the first and second year of DOTS implementation. For example, the percentage of treatment failure among new cases declined from 2.8% to 0.5% over the first six to eight years of DOTS implementation, but this percentage declined from 2.8% to 1.2% during the first year alone.[12].

As a consequence, there have been calls for well-functioning DOTS programs to provide additional services in areas with high rates of MDR-TB. In order to promote the programmatic treatment of MDR-TB in low-income and middle-income countries that have adopted the DOTS strategy, the WHO and its international partners have been evolving the “DOTS-Plus for MDR-TB programs” (Table 5) since 1998.[11,13].
The WHO has also established a unique partnership known as the Green Light Committee to lower the prices of and to increase control over second-line anti-TB drugs. The DOTS-Plus strategy of identifying and treating patients with MDR-TB appears to have the
potential to be effectively implemented on a nationwide scale even in a setting with limited resources.[5].

The results from the retrospective study [14] designed to assess treatment outcomes for the first full cohort of MDR-TB patients (n _ 204), who were treated under the Latvian DOTS-Plus strategy following WHO guidelines, have been encouraging; 66% patients were cured or completed therapy, 7% died, 13% defaulted, and 14% did not respond to
treatment. Data on adverse drug reactions (ADRs) collected from five DOTS-Plus sites in Estonia,Latvia, Peru (Lima), the Philippines (Manila), and the Russian Federation (Tomsk Oblast)[15] showed that, among 818 patients enrolled for MDR-TB treatment, only 2% of patients stopped treatment and 30% required removal of the suspected drugs
from the regimen and use of alternative drugs due to ADRs. These findings indicate that ADRs are manageable in the treatment of MDR-TB even in resource-limited settings provided that standardized management strategies are followed.

Prevention of Transmission of MDR-TB
As TB poses a significant risk to health-care workers, doctors, and other patients, recommendations such as those issued by the WHO [16]65 and the CDC in Atlanta, GA,[17]66 regarding the prevention of the transmission of TB in hospitals, workplaces, and institutional settings should be implemented wherever it is feasible.


References
1 World Health Organization. Tuberculosis: the global burden; global TB fact sheet 2005.
Available at: http://www.who.int/ tb/publications/tb_global_facts_sep05_en.pdf.
Accessed December 25, 2005
2 Ormerod LP. Multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB): epidemiology, prevention
and treatment. Br Med Bull 2005; 73–74:17–24
3 Sharma SK, Mohan A. Multidrug-resistant tuberculosis. Indian J Med Res 2004;
120:354–376
4.ANTI-TUBERCULOSIS DRUG RESISTANCE IN THE WORLD. Fourth Global
Report. WHO/HTM/TB/2008.394.
5.Central TB Division, Directorate General of Health Services,Ministry of Health &
Family Welfare, Government of India.Revised national tuberculosis control
programme: DOTSPlus guidelines. Available at: http://www.tbcindia.org/pdfs/DOTS-
Plus%20Guidelines.pdf. Accessed March 31, 2006.
6. Frieden TR, Munsiff SS. The DOTS strategy for controlling the global tuberculosis
epidemic. Clin Chest Med 2005;26:197–205
7. Blumberg HM, Burman WJ, Chaisson RE, et al. American Thoracic Society, Centers
for Disease Control and Prevention and the Infectious Diseases Society: American
Thoracic Society/Centers for Disease Control and Prevention/Infectious Diseases
Society of America; treatment of tuberculosis. Am J Respir Crit Care Med 2003;
167:603–662.
8. Crofton J, Chaulet P, Maher D, et al. Guidelines for the management of drug-resistant
tuberculosis. Geneva, Switzerland: World Health Organization, 1997
9. Blumberg HM, Burman WJ, Chaisson RE, et al. American Thoracic Society, Centers
for Disease Control and Prevention and the Infectious Diseases Society: American
Thoracic Society/Centers for Disease Control and Prevention/Infectious Diseases
Society of America; treatment of tuberculosis Am J Respir Crit Care Med 2003;
167:603–662
10.World Health Organization, Stop TB Department. Treatment of tuberculosis:
guidelines for national programmes. 3rd ed.Geneva, Switzerland: World Health
Organization, 2003.
11. Bastian I, Rigouts L, Van Deun A, et al. Directly observed treatment, short-course
strategy and multidrug-resistant tuberculosis: are any modifications required? Bull
World Health Organ 2000; 78:238–251
12.Chen X, Zhao F, Duanmu H et al. The DOTS strategy in China: results and lessons
after 10 years. Bulletin of the World Health Organization 2002;80:430-436.
13.Sharma SK, Liu JJ. Progress of directly observed treatment, short-course (DOTS) in
global TB control. Lancet 2006;367:951–952
14.Leimane V, Riekstina V, Holtz TH, et al. Clinical outcome of individualised treatment
of multidrug-resistant tuberculosis in Latvia: a retrospective cohort study. Lancet 2005;
365:318–326
15.Nathanson E, Gupta R, Huamani P, et al. Adverse events in the treatment of
multidrug-resistant tuberculosis: results from the DOTS-Plus initiative. Int J Tuberc
Lung Dis 2004;8:1382–1384
16.Granich R, Binkin NJ, Jarvis WR, et al. Guidelines for the prevention of tuberculosis
in health care facilities in resourcelimited settings. Geneva, Switzerland: World Health
Organization,1999
17.Jensen PA, Lambert LA, Iademarco MF, et al. Guidelines for preventing the
transmission of Mycobacterium tuberculosis in health-care settings, 2005. MMWR
Recomm Rep 2005;54:1–141.


Dr.Yusrizal Djam’an Saleh SpP.FCCP

Saturday, August 15, 2009

RUAM POPOK

Diaper Rash

What does diaper rash look like?
Diaper rash usually causes mild redness and scaling where the diaper touches your baby's skin. In bad cases, the rash can cause pimples, blisters and other sores. If your baby's rash gets infected, the rash may be bright red and the skin may be swollen. Small red patches or spots may spread beyond the main part of the rash, even outside the diaper area.

What causes diaper rash?
Most diaper rashes are caused by skin irritation. Irritation can be caused by diapers that rub against the skin or fit too tightly. Irritation can also occur if your baby is left in a wet or dirty diaper for a long period of time. Your baby's skin can also be irritated by the soap used to wash cloth diapers, or by some brands of disposable diapers or baby wipes.

Plastic pants that fit over diapers raise the temperature and moisture in the diaper area. Heat and moisture make it easier for diaper rash to start and for germs to grow.

Diaper rash can also develop while the baby is on antibiotics (or if the mother is on antibiotics while breastfeeding).
How is diaper rash prevented and treated?
The key to preventing and treating diaper rash is to keep your baby's diaper area clean, cool and dry.

Change your baby's diaper often, and let him or her go without a diaper when possible to let the air dry his or her skin.

Try placing your baby on an open cloth diaper during nap time. Check the diaper shortly after your baby falls asleep and replace it if it's wet. Babies often urinate right after falling asleep.

See the box below for tips on preventing and treating diaper rash. If these things don't work, talk to your doctor.

Don't use creams that contain boric acid, camphor, phenol, methyl salicylate or compound of benzoin tincture. These things can be harmful.
Tips on preventing and treating diaper rash
•Check your baby's diaper often and change it as soon as it's wet or soiled.
•Carefully clean your baby's bottom between diaper changes. Use plain warm (not hot) water with or without a very mild soap.
•Allow your baby's skin to dry completely before putting on another diaper.
•Avoid baby wipes that are scented or contain alcohol.
•Use products that contain zinc oxide ointment (such as Desitin Ointment) or petroleum (such as Vaseline) to protect your baby's skin from moisture.
•Avoid using plastic pants or diapers with plastic edges.
•After bathing, pat your baby's bottom dry with a towel rather than scrubbing it. Scrubbing can irritate your baby's sensitive skin.
•If diaper rash persists, change the type of wipes, diapers or soap you're using.
What if my baby has an infection?
If your baby also has an infection with the rash, the rash may not get better by following these tips alone. Your doctor might give you a prescription for a special antifungal cream to use on your baby's rash.
What about powder?
Talcum powder and cornstarch aren't recommended. Talcum powder can get in your baby's lungs. Cornstarch may make a diaper rash caused by a yeast infection worse.
Should I use cloth or disposable diapers?
The choice is up to you. Some research suggests that because disposable diapers are more absorbent they keep babies drier.

If you use cloth diapers and wash them at home, boil them for 15 minutes on the stove after washing them to kill germs and remove soap that could irritate your baby's skin.

But remember that the most important thing about diapers is to change them often.
Call your doctor if:
•The diaper rash occurs in the first 6 weeks of life
•Pimples and small ulcers form
•Your baby has a fever
•Your baby loses weight or isn't eating as well as usual
•Large bumps or nodules appear
•The rash spreads to other areas, such as the arms, face or scalp
•The rash doesn't get better after trying the tips on treating diaper rash for 1 week


familydoctor copy

Friday, August 14, 2009

TB dan HIV

TB - HIV

M. Syahril Mansyur*, Agus Suharto*, Riana Sari*
*Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta



PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan dunia dan lebih banyak terjadi di negara berkembang. Diperkirakan 8 juta kasus TB terjadi setiap tahun yang dua pertiganya di Asia dan Pasifik. Menurut data regional World Health Organization (WHO) jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia. Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia tertinggi di dunia setelah India dan Cina. Masalah kesehatan tersebut semakin bertambah kompleks akibat komplikasi infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Human immunodeficiency virus (HIV) tidak hanya mempersulit diagnosis TB tetapi juga meningkatkan insidensi TB.
Data World Health Organization (WHO) tahun 2007 menunjukan, terdapat 33,2 juta orang di dunia yang hidup dengan HIV. Pada tahun ini saja telah terjadi 2,1 juta kematian akibat AIDS, dan 2,5 juta kasus HIV baru. Di banyak wilayah di dunia, infeksi baru HIV terkonsentrasi pada kelompok umur dewasa muda (15-24 tahun). Di Asia jumlah penderita HIV meningkat lebih dari 150%. Indonesia adalah negara di Asia dengan pertumbuhan epidemi HIV tercepat. Hingga September 2007 di Indonesia tercatat sekitar 170.000 orang yang terinfeksi HIV. Jika pada tahun 1988 tidak tercatat adanya infeksi yang terdeteksi pada pengguna napza suntik, maka pada tahun 2006, dalam survei yang dilakukan Departemen Kesahatan RI, terdapat 1517 pengguna napza suntik terinfeksi oleh HIV. Dari studi-studi yang dilakukan, tercatat bahwa pengguna napza suntik memiliki kebiasaan berisiko tinggi seperti menggunakan peralatan yang tidak steril dan melakukan hubungan seks tanpa perlindungan dengan beberapa pasangan. Pola penyebaran umumnya melalui napza suntik (54,67%), hubungan heteroseksual (40,43%), dan perinatal (2,59%).
Ko-infeksi TB/HIV saat ini menjadi salah satu kendala besar dalam upaya penanggulangan kedua penyakit tersebut. TB merupakan penyebab utama kematian pada orang dengan HIV, dan sebaliknya infeksi HIV menjadi faktor risiko terbesar dalam konversi kasus TB laten menjadi TB aktif. Pada tahun 2006, diperkirakan 709.000 (8%) dari 9,2 juta kasus TB baru adalah penderita HIV dan 200.000 (12%) kematian dari 1,7 juta kematian karena TB terjadi pada penderita HIV. Ko-infeksi TB/HIV merupakan masalah besar yang harus dihadapi negara-negara di seluruh dunia. Sekitar 50% ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) menderita TB, dan sekitar 40 juta orang di dunia terkena ko-infeksi TB/HIV. Di Asia Tenggara sendiri diperkirakan hampir 6 juta ODHA dewasa berpotensi mengalami koinfeksi dengan TB.


IMUNOPATOGENESIS KOINFEKSI TB DAN HIV/AIDS

Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) disebabkan oleh infeksi human immunodeficiency virus (HIV) yang terdiri atas HIV-1 dan HIV-2. AIDS paling banyak disebabkan oleh HIV-1. HIV menginfeksi sel limfosit CD4 yang berperan dalam sistem imunitas. Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (M. Tb). Infeksi dimulai dengan inhalasi droplet nuklei yang mengandung M. Tb yang tidak dapat ditangkap oleh sistem pertahanan mukosilier bronkus dan masuk ke alveoli. Di dalam alveoli kuman ditangkap makrofag alveoli, kuman akan bermultiplikasi hingga mencapai jumlah tertentu yang akan mengaktivasi sel limfosit T. Antigen kuman dipresentasikan oleh Major histocompatibility complex class I (MHC I) ke sel CD8 dan oleh MHC II ke sel CD4. Sel CD4 terdiri atas Th1 dan Th2 yang masing-masing menghasilkan sitokin yang berperan dalam sistem imunitas. Respon imunitas pada infeksi M. Tb meliputi cell mediated immunity (CMI) dan delayed type hypersensitivity (DTH), kedua respon imunitas tersebut bertujuan untuk melokalisisr infeksi dan membunuh M. Tb.
Pada individu normal terjadi keseimbangan yang rentan antara imunitas host dan M. Tb. Sel CD4 dan makrofag sangat berperan dalam respon imunitas terhadap M. Tb. Infeksi HIV menyebabkan depresi dan disfungsi progresif sel CD4 dan defek pada fungsi makrofag. Akibatnya pasien HIV mempunyai risiko tinggi untuk reaktivasi TB laten menjadi TB aktif dan peningkatan risiko terinfeksi baru TB. Pada infeksi HIV lanjut kadar CD4 sangat rendah sehingga terjadi gangguan respon imunitas baik CMI dan DTH, akibatnya replikasi M. Tb meluas tanpa disertai pembentukan granuloma, nekrosis perkejuan maupun kavitas. Ini menyebabkan diagnosis TB lebih sulit karena gambaran radiologisnya tidak seperti umumnya penderita TB tanpa HIV. TB diseminata atau TB ekstra paru sering terjadi tetapi kelainan TB paru masih merupakan kelainan TB yang lebih sering terjadi. Status HIV negatif meningkatkan risiko berkembangnya TB 5-10%, sedangkan status HIV positif meningkatkan risiko berkembangnya TB 50%. Dibandingkan individu yang tidak terinfeksi HIV, individu dengan HIV mempunyai risiko 10 kali lebih besar untuk berkembangnya TB.


DIAGNOSIS TUBERKULOSIS KOINFEKSI HIV/AIDS

Penegakan diagnosis TB koinfeksi HIV/AIDS pada prinsipnya sama dengan pasien TB tanpa HIV/AIDS hanya saja perlu mendapat perhatian khusus untuk pemeriksaan HIV/AIDS. Untuk menegakkan diagnosis TB koinfeksi HIV/AIDS diperlukan langkah-langkah berupa anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis
Gejala klinis tuberkulosis dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala respiratorius dan gejala sistemik. Gejala respiratorius meliputi batuk ≥ 2 minggu, batuk darah, sesak napas, nyeri dada. Gejala respiratorius ini bervariasi tergantung dari luas lesi. Gejala sistemik TB yaitu demam hilang timbul, malaise, keringat malam hari, anoreksia dan berat badan menurun. Baik gejala respiratorius dan sistemik TB dapat ditemukan pada penyakit lain, untuk itu diperlukan pemeriksaan lanjutan.
Penderita yang dicurigai terinfeksi HIV/AIDS selain anamnesis tentang gejala yang berhubungan dengan infeksi HIV seperti demam lebih dari 1 bulan, berat badan turun, diare lebih dari 1 bulan juga harus ditanyakan tentang faktor risiko HIV/AIDS antara lain riwayat pengguna jarum suntik, narkoba, riwayat suka berganti pasangan, riwayat transfusi, riwayat pekerjaan sebagai pekerja seks.

Pemeriksaan fisis
Perlu dicatat keadaan umum, kesadaran dan status gizi pasien. Hasil pemeriksaan paru tergantung luas kelainan paru. Perlu diperiksa ada tidaknya pembesaran getah bening, keadaan mulut dan gigi juga perlu diteliti apakah ada selaput putih, ulkus (kandidiasis) atau bercak berwarna keunguan akibat sarkoma kaposi serta tanda kaku kuduk yang dicurigai meningitis. Keadaan lengan dan tungkai juga perlu diperiksa apakah ada tanda-tanda bekas jarum suntik, bercak-bercak atau ulkus di kulit akibat sarkoma kaposi. Tabel berikut menampilkan sistem penderajatan klinis infeksi HIV pada orang dewasa, menurut WHO.

Sebagai surveilans kasus HIV/ AIDS bila ditemukan 2 tanda mayor dan minimal 1 tanda minor :
Tanda mayor
1. Penurunan berat badan > 10%
2. Diare kronik > 1 bulan
3. Demam lama > 1 bulan
Tanda minor
1. Batuk persisten > 1 bulan
2. dermatitis pruritik generalisata
3. Riwayat herpes zoster
4. Kandidiasisorofaringeal
5. Infeksi herpes simpleks diseminata atau progresif kronik
6. limfadenopati generalisata
Ditemukannya sarkoma kaposi generalisata atau meningitis kriptokokal cukup untuk mendefinisikan kasus AIDS.

Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan bakteriologi
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan M. Tb pada pemeriksaan sediaan langsung dan atau biakan dahak. Pemeriksaan dahak idealnya dilakukan 3 kali SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu).
2. Pemeriksaan radiologi
Gambaran TB pada infeksi HIV dini antara lain ditemukan infiltrat di lobus atas, kavitas atau efusi pleura unilateral. Pada infeksi HIV lanjut ditemukan gambaran atipik yaitu infiltrat di lobus bawah, milier, infiltrat di daerah hilus, pembesaran (adenopati) hilus atau paratrakeal.
3. Pemeriksaan penunjang lain
a. Uji tuberkulin
Menggunakan standar tuberkulin 1:10.000/5 TU PPD-S intrakutan yang dibaca 48-72 jam dengan indurasi > 5 mm. Uji tuberkulin negatif belum dapat menyingkirkan TB. False negatif pada pemeriksaan uji tuberkulin sering ditemukan pada pasien HIV dan kejadiannya meningkat sebanding dengan peningkatan imunosupresi.
b. Kultur/ biakan bakteri M tb
Dianjurkan bila fasilitas memungkinkan spesimen diperiksa.
c. Analisis cairan pleura
d. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi
e. Uji serologi (ELISA) untuk mengetahui ada tidaknya infeksi HIV
f. Hitung limfosit CD4
Jumlah CD4 mencerminkan status imunitas pasien. Penderita HIV/AIDS perlu diperiksa jumlah CD4 karena infeksi HIV menyerang sistem ini. Hasil pemeriksaan jumlah CD4 berguna untuk menentukan pengobatan TB-HIV/AIDS selanjutnya.

Pasien TB yang perlu dilakukan pemeriksaan HIV adalah pasien yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi HIV, hasil pengobatan OAT yang tidak memuaskan (contoh: TB kronik), multi drug resistance (MDR) TB. Demikian juga bila di fasilitas kesehatan menemukan pasien terinfeksi HIV/AIDS perlu dibuktikan ada tidaknya TB paru. Dengan adanya kerjasama yang baik antara program TB dan program HIV/AIDS dapat menurunkan beban pasien TB-HIV/AIDS. Setiap pemeriksaan HIV harus disertai konseling sebelum dan sesudah pemeriksaan, oleh karena itu diperlukan VCT ( Voluntary Counselling Test ) dan PITC (Provider Initiated Testing and Counselling) di setiap pelayanan kesehatan.


PENGOBATAN TUBERKULOSIS KOINFEKSI HIV/AIDS

Tata laksana pengobatan pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya (tabel 3). Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB tanpa HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB dengan menggunakan kombinasi beberapa jenis obat, dosis yang tepat serta dalam jangka waktu yang tepat. Pengobatan anti retroviral (ARV) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV dengan memperhatikan jumlah limfosit CD4 sesuai dengan standar WHO serta kemampuan ekonomi pasien karena obat ini diberikan jangka panjang (tabel 4). Penggunaan suntikan streptomisin harus memperhatikan prinsip-prinsip kewaspadaan-keamanan universal. Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu unit pelayanan kesehatan (UPK) untuk menjaga kepatuhan pengobatan.

KESIMPULAN

1. Ko-infeksi TB/HIV menjadi salah satu kendala besar dalam upaya penanggulangan kedua penyakit tersebut.
2. Infeksi HIV menyebabkan depresi dan disfungsi progresif sel CD4 dan defek pada fungsi makrofag.
3. Pasien HIV mempunyai risiko tinggi untuk reaktivasi TB laten menjadi TB aktif dan peningkatan risiko terinfeksi baru TB.
4. Diagnosis TB pada individu dengan HIV/AIDS lebih sulit karena gambaran radiologisnya tidak seperti umumnya penderita TB tanpa HIV.
5. Pengobatan pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya.
6. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB dengan menggunakan kombinasi beberapa jenis obat, dosis yang tepat serta dalam jangka waktu yang tepat.
7. Pengobatan anti retroviral (ARV) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV dengan memperhatikan jumlah limfosit CD4 sesuai dengan standar WHO serta kemampuan ekonomi pasien karena obat ini diberikan jangka panjang.
8. Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu unit pelayanan kesehatan (UPK) untuk menjaga kepatuhan pengobatan.


DAFTAR PUSTAKA

1. WHO Report 2003. Global Tuberculosis Control. Surveillance, Planning, Financing. Available at: http//www.who.int/ tb/publications/globrep02/index.html. WHO/CDS/TB/2002.245. Accessed on January 24th, 2004.
2. Nurain JP, Ru Lo Y. Epidemiology of HIV TB in Asia. Indian J Med Res 2004; 277-89.
3. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006.
4. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, eds 2. Jakarta, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008.
5. AIDS epidemic update: December 2002, Geneva, Joint United Nations Programme on HIV/AIDS, (UNAIDS) and World Health Organization; 2002.
6. Pedoman Nasional Kebijakan Kolaborasi TB/HIV, eds 1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007.
7. WHO. TB/HIV a clinical manual. WHO library cataloging in publication data. 2004.
8. UNAIDS/WHO policy statement on HIV testing. June 2004.

Thursday, August 13, 2009

INFEKSI NOSOKOMIAL

INFEKSI NOSOKOMIAL
Rata Penuh
I. BATASAN UMUM.
Infeksi nosokomial atau infeksi rumah sakit adalah infeksi yang didapat seseorang penderita selama dirawat di Rumah Sakit.

1. Suatu infeksi dikatakan didapat di Rumah Sakit apabila :
a. Pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit tidak didapat tanda-tanda Klinik dari
infeksi tersebut.
b. Pada waktu penderita mulai dirawat di Rumah Sakit tidak sedang dalam masa inkubasi
dari infeksi tersebut.
c. Tanda-tanda klinik infeksi tersebut baru timbul sekurang-kurangnya setelah 3 x 24 jam
sejak mulai perawatan.
d. Infeksi tersebut bukan merupakan sisa ( residual ) dari infeksi sebelumnya.
e. Bila saat mulai dirawat di Rumah Sakit sudah ada tanda-tanda infeksi, dan terbukti infeksi
tersebut didapat penderita ketika dirawat di Rumah Sakit yang sama pada waktu yang lalu,
serta belum pernah dilaporkan sebagai infeksi nosokomial.

CATATAN :
A. Bila tanda-tanda infeksi sudah timbul pada masa kurang dari 3 x 24 jam sejak mulai perawatan, tergantung masa inkubasi dari masing-masing jenis infeksi.
B. Untuk penderita yang setelah keluar dari Rumah Sakit kemudian timbul tanda - tanda infeksi, baru dapat digolongkan sebagai infeksi nosokomial apabila infeksi tersebut dapat dibuktikan berasal dari Rumah Sakit.
C. Tidak termasuk infeksi nosokomial ialah :
- Keracunan makanan yang tidak disebabkan oleh produk bakteri.

2. Infeksi nosokomial dapat terjadi karena adanya :
a. Infeksi Silang : yaitu infeksi yang disebabkan kuman yang didapat dari orang / penderita lain di Rumah Sakit.
b. Infeksi Lingkungan : yaitu infeksi yang disebabkan kuman yang didapat dari bahan / benda tak bernyawa di lingkungan Rumah Sakit.
c. Infeksi Sendiri : yaitu infeksi yang disebabkan kuman yang berasal dari penderita sendiri.
3. Sebagai sumber infeksi dapat berupa :
a. Benda yang bernyawa, misalnya : manusia atau binatang.
b. Benda tak bernyawa, misalnya : benda atau bahan dilingkungan kita. Dapat berupa udara, debu, cairan yang telah terkontaminasi.

II. BATASAN KHUSUS
1. Bakteremia

a. Batasan Klinik Bakteremia
1. Demam yang mencapai 38,5 C atau lebih yang bertahan selama minimal 24 jam, atau yang berulang paling sedikit 4 (empat) kali dalam 24 jam dengan. atau tanpa pemberian obat antipiretika. Suhu badan diukur secara aksiler selama 5 (lima) menit diulang tiap 3 jam.
2. Apabila penderita menunjukkan gejala sepsis dengan atau tanpa tanda-tanda renjatan (shock), suhu tubuh diukur secara oral atau rektal.

Khusus Neonatus batasan klinik bakteremia dipakai kriteria :
1. Keadaan umum menurun : menurun (no doing well), malas minum (poor feeding), hipotermia, sklerema.
2. Pembuluh darah : takikardia (lebih dari 60 /m), sirkulasi perifer jelek sampai timbul renjatan.
3. Saluran cerna : retensi lambung, hepatomegali, mencret, muntah.
4. Saluran nafas : bernafas tak teratur, sesak nafas, asnea, serangan sianosis, takipnea ( > 60/m).
5. Sistim saraf pusat : hipertoni otot, iritable, kejang, letargi.
6. Manifestasi hematologi : pucat, kuning, splenomegali, perdarahan. Dianggap klinik positif bila terdapat minimum 3 dari 6 kelompok gejala tersebut di atas.

b. Batasan Laboratorik Bakteremia.
Ditemukan kuman pada biakan darah penderita yang diambil dengan cara sebagai berikut :
1. Darah diambil dengan memakai semprit 10 cc yang kering dan steril, dimasukkan pada dua media angkut, masing-masing 5 cc dan segera kirim ke laboratorium untuk dilakukan pembiakkan.
2. Bila pengambilan contoh darah telah dilakukan tetapi pengiriman / pembiakan tidak dapat segera dikerjakan, maka contoh darah dapat disimpan dalam inkubator pada suhu 37 C, atau pada suhu ruanganselama tidak lebih dari 24 jam, sebelum dikirim ke Laboratorium Mikrobiologi.

Ditemukan kuman pada biakan ujung kateter pembuluh darah.
Cara pengambilan bahan untuk biakan kuman dari kateter adalah sebagai berikut :
- Sebelum kateter pembuluh darah dilepas, dilakukan desinfeksi pada kulit disekitarnya.
- Setelah kateter dilepas, ujung kateter dipotong ( dengan menggunakan gunting steril ) sepanjang 1 cm dari ujung, bagi kateter pada pembuluh darah parifer, atau sepanjang 5 cm dari ujung, bagi kateter pada pembuluh darah sentral dan langsung dimasukkan pada media angkut.
- Syarat-syarat lain seperti pada pengambilan darah diatas.

C. Batasan Klinik Bakteremia Nosokomial.
Bakteremia digolongkan pada Bakteremia Nosokomial, apabila :
Bakteremia tersebut terjadi setelah tindakan invasif (instrumentasi) yang dilakukan di rumah sakit antara lain :
- Transfusi darah / pemberian cairan parenteral.
- Pungsi lumbal.
- Pungsi sumsum tulang
- Katerisasi buli-buli / vena
- Intubasi endotrakeal / pemasangan respirator
- Biopsi
- Tindakan bedah
- Endoskopi
- Dan lain-lain
2. Bakteremia yang baru terjadi sesudah penderita dirawat di rumah sakit se-
lama 3 x 24 jam atau lebih (lihat batasan umum 1.1. 4 s/d 5 ).
3. Khusus untuk neonatus :
a. Bila 3 hari, pada partus pertama.
b. Bila 5 hari, pada partus patologik
c. Bila didapatkan adanya port d’entree yang jelas merahnya luka bekas
infus, luka bekas tusukan jarum, luka bekas forseps, vacum dan lain-lain.
Catatan :
Diagnosis bakteremia sebaiknya didasarkan atas data klinik dan data labora-
torik (Mikrobiologi

2. Infeksi Saluran Kemih.
2.1. Batasan Klinik.
Seorang penderita dikatakan mendapat infeksi saluran kemih bila didapatkan tanda-tanda berikut ini :
A. Dewasa :
1. Keluhan Saluran Kemih.
- Nyeri pinggang
- Menggigil
- Disuria
- Nyeri suprasimfisis
2. Urine keruh (piuria)
3. Dapat disertai tanda klinik bakteremia (lihat batasan bakteremia).
B. Anak :
1. Neonatus :
- malas dan tidak mau minum.
- berat badan tidak mau naik.
- tumpah dan diare
- tanda-tanda bakteremia lain
2. Anak :
- berat badan tidak mau naik
- nyeri perut
- panas
- polakisuria
- disuria
- air kemih berbau
- enuresis

2.2. Batasan Laboratorik.
1. Piuria
Lekosit > 10 per lapangan pandang
2. Bakteriuria :
- Bila urine diambil dengan kateter : pada biakan tumbuh koloni kuman
sebanyak 10.000 atau lebih.
- Bila yang diambil urine porsi tengah : pada biakan tumbuh koloni kuman
sebanyak 100.000 atau lebih.
- Bila urine diambil dengan cara pungsi supra pubik pada biakan ditemu-
kan kuman. (tanpa syarat jumlah koloni kuman).

2.3. Infeksi Saluran Kemih Nosokomial.
Infeksi saluran kemih digolongkan pada infeksi Nosokomial apabila tanda-
tanda infeksi timbul setelah tindakan invasi / operatif pada tractus Genito
Urinarius di rumah sakit antara lain :
- Kateterisasi buli-buli.
Sistokopi, operasi endoskopi.
- Tindakan operatif pada vagina.
- Dan lain-lain.
Catatan :

A. Bakteriuria asimtomik : hanya ditemukan bakteriuria saja, tanpa disertai
adanya keluhan serta gejala lain dari saluran kemih.
B. Infeksi Saluran Kemih :
a. Klinik
b. Klinik dan Laboratorik
c. Laboratorik : piuria dan bakteriuria.
C. Pada penderita yang waktu MRS sudah dengan infeksi saluran kemih,
maka baru dianggap infeksi, bila ditemukan kuman penyebab yang berbeda dengan kuman penyebab yang ditemukan pada waktu penderita masuk Rumah Sakit.

3. Infeksi Pada Luka Operasi.
Untuk menentukan adanya infeksi nosokomial pada suatu luka operasi, di per-
lukan keterangan keadaan pra bedah dan keadaan selama operasi.
Tindakan operasi (pembedahan) dapat digolongkan :
a. Operasi bersih :
- Operasi pada keadaan pra bedah tanpa luka atau operasi melibatkan luka
yang steril dan dilakukan dengan memperhatikan prosedur aseptik dan antiseptik
- Operasi yang tidak melibatkan gastrointestinal, genitourinarius, atau sistim
trakheobronkial, dimana tidak ada tanda-tanda kontaminasi dan tidak me-
nunjukkan suatu peradangan disekelilingnya.
b. Operasi bersih terkontaminasi.
- Operasi yang melibatkan ketiga sistem tersebut dimana kontaminasi dapat
terjadi tanpa terlihat, misalnya operasi pada lambung, kandung empedu,
appendiks tanpa perforasi dan genitourinarius yang tidak terinfeksi.
- Apabila dipasang drain.
c. Operasi terkontaminasi :
- Operasi pada daerah dimana pada keadaan normal didapat bakteri, mi-
salnya pengangkatan appendiks yang perforasi, eksplorasi pada ruda
paksa yang baru dan reseksi usus yang meradang.
- Pembedahan yang melibatkan daerah dengan luka 6 – 10 jam dengan
atau tanpa benda asing.
- Tindakan darurat yang mengabaikan prosedur aseptik dan antiseptik.
d. Operasi kotor beradang :
- Operasi pada jaringan yang mati, perforasi usus atau irisan pada jaringan
bersih untuk membuat drainage.
- Pembedahan yang melibatkan :
- Daerah dengan luka terbuka yang lebih dari 10 jam.
- Luka dengan tanda-tanda klinik infeksi.
- Luka dengan organ viscera.

3.1. Keadaan luka pasca bedah
Untuk menilai keadaan luka pasca bedah, dipakai batasan sebagai berikut :
a. Tidak infeksi, bila dari luka operasi sembuh perprimam.
b. Kemungkinan infeksi, bila dari luka operasi keluar cairan dan ada tanda-
tanda radang, tetapi pada pemeriksaan biakan kuman dari cairan serus ter-
sebut tidak didapatkan pertumbuhan kuman.
c. Infeksi, bila dari luka operasi keluar cairan serus dengan hasil biakan ku-
man yang positif, atau keluar pus dari luka operasi dengan atau tanpa di
buktikan oleh hasil pemeriksaan mikrobiologi.
3.2. Infeksi Nosokomial pada luka operasi.
Infeksi pada luka operasi belum tentu merupakan infeksi yang didapat di Rumah Sakit.
Infeksi pada luka operasi baru digolongkan pada infeksi Nosokomial bila keadaan pra bedah / selama pembedahan bersih atau bersih terkontaminasi (ad. 3.a atau 3.b.) dan kemudian pasca bedah terjadi infeksi pada luka operasi (ad. 3.1.a. dan atau 3.1.b.).
Catatan :
A. Abses Jahitan : yaitu bila setelah operasi pada jahitan terjadi abses dan bila
jahitan dilepas dalam 3 x 24 jam luka sembuh.
B. Kasus-kasus dengan dugaan infeksi / terkontaminasi waktu masuk Rumah
Sakit, dikategorikan dalam infeksi Nosokomial bila data memastikan,
yaitu pemeriksaan laboratorium mikrobiologi, dengan cara identifikasi
jenis kuman.
C. Pada luka operasi bersih, dapat terkena kontaminasi bakteri terutama
pada hari 4 – 6 dan bakteri masuk melalui lobang / jalan jahitan sedang
pada operasi dengan jahitan subkutikular luka segera tertutup dengan
pembentukan jaringan kologen. Sehingga setiap luka operasi di ruangan
dapat dianggap sebagai “hasil produksi” dikamar operasi.
D. Meskipun cukup banyak antibiotik baru yang ditemukan / dipasarkan,
yang melalui beberapa penelitian vivo maupaun vitro menunjukkan daya
bunuh yang tinggi tapi tetap tidak memaafkan tindakan pembedahan
yang tidak “benar” termasuk perawatan sebelum dan selama operasi.
4. Infeksi Saluran Nafas Bagian Bawah
4.1. Batasan Klinik Laboratorik.
Seorang penderita dikatakan menderita infeksi Saluran Nafas Bagian Bawah apabila didapatkan :
a. Demam 38,5 C
b. Lekositosis
c. Batuk-batuk dengan dahak purulen atau ada peningkatan produksi dahak
pada penderita yang sedang menderita penyakit baru.
d. Pada pemeriksaan fisik, didapatkan adanya ronkhi basah atau pada pe-
meriksaan fluoroskopi (sinar tembus) dada didapatkan infiltrat paru dan
disertai dengan salah satu gejala yang telah disebutkan diatas (a atau b
atau c atau dan).
4.2. Batasan Mikrobiologik
Didapatkan kuman pada pemeriksaan :
a. Dahak yang telah di screening
b. Dahak, cairan pleura, cairan cuci bronkus atau cairan yang didapat dari
aspirasi transtrakeal.
4.3. Khusus untuk anak.
4.3.1. Termasuk disini semua infeksi akut dari laring ke bawah.
Gejala-gejala :
Panas, batuk terutama bila berdahak nanah, sesak, nyeri dada di
sertai kelainan-kelainan fisik saluran pernafasan bagian bawah.
Pemeriksaan X-foto paru dan kultur dahak tidak mutlak perlu untuk
diagnosis.
Penyebab dapat virus dan bakteri.
4.3.2. Disebutkan infeksi Nosokomial bila timbul sekurang-kurangnya 3 x
24 jam sejak mulai dirawat di rumah sakit.
Banyak infeksi nosokomial disebabkan oleh hasil gram negatif,
Staphylococcus aureus, Streptococcus pneumoniae dan fungus.
Untuk penyebab-penyebab tertentu perlu diteliti masa inkubasinya
sendiri-sendiri.
Catatan :
A. Semua infeksi saluran pernafasan akut yang terjadi pada neona -
tus di Ruang Bayi disebut infeksi nosokomial.
B. Super infeksi pada penderita yang masuk rumah sakit sudah
dengan infeksi saluran pernafasan hanya dapat dikatakan noso –
komial bila ditemukan kuman baru disamping kuman yang lama
dan didapatkan keadaan klinik yang berat.
4.3.3. Faktor-faktor predisposisi.
Neonatus, higieni gigi yang jelek, penyakit-penyakit yang berat,gizi buruk, lamanya dirawat di rumah sakit, anestesi umum, intubasi endotrakeal, trakeostomi, terapi inhalasi, dekompensasi kordis, terapi antibiotik, sitostatika dan kortikosteorid, penderita dengan defisiensi imunitas, over crowding.
Catatan :
A. Penyebab bertambahnya sumber infeksi di dalam ruangan :
- Adanya sitem rooming – instalasi radiologi.
- Pengunjung penderita yang berlebihan.
B. Para petugas ruangan bayi bila mulai menderita infeksi salu -
ran nafas akut dilarang masuk atau tugas du Ruang Bayi.

Saturday, August 8, 2009

BAYI TABUNG

Tahukah anda nama bayi tabung yang lahir pertama kali di dunia?
Nama bayi fenomenal itu adalah Louise Brown. Tapi setelah sekian lama, masalah legalitas bayi tabung masih menjadi perdebatan.
Teknik perkembang biakan berdasarkan pembuahan in-vitro ini ditanggapi beragam.
Sebenarnya proses bayi tabung ini berasal dari sel telur seorang wanita yang baru saja masak diambil, lalu di buahi oleh sperma di luar tubuh/rahim wanita tersebut.
Tepatnya di dalam sebuah cawan petri. Tapi orang lebih suka menyebutnya tabung, sehingga jadi bayi tabung bukan bayi cawan petri.
Setelah terjadi pembuahan, lalu di masukkan kembali kedalam rahim untuk menempel, tumbuh dan berkembang.

kHUSUS DI INDONESIA
MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa bayi tabung boleh dilakukan, karena termasuk dalam hukum ikhtiar dari suami-istri sah untuk mendapat keturunannya.
Syarat utama adalah ovum/sel telur dan sperma harus berasal dari suami istri sah dan masih rukun. Kedua, setelah terjadi pembuahan, embrio harus ditanam dalam rahin istri sah bukan menyewa rahim wanita lain.
jika ini dilanggar maka hukumnya adalah haran dan zina.

MASALAH BARU
Dalam perkembangannya, janin yang ditanam dalam rahim bisa lebih dari satu. Di Amerika ada yang mmelahirkan 8 anak. Kasus inilah yang ditentang oleh ilmuwan, karena membahayakan keselamatan ibu dan juga janin. Jumlah janin lebih dari satu akan menyebabkan resiko preeklamsi, eklamsi, prematuritas dan keselamatan ibu. Jumlah embrio yangbdirekomendasikan adalah 1 sampai 3 saja, dengan pertimbangan resiko gagal implantasi. Jika yakin berhasil maka cukup satu saja yang ditanam.

Saturday, August 1, 2009

STROKE BERULANG

STROKE

Merupakan momok bagi masyarakat yang mempuntai faktor resiko hipertensi. Juga momok bagi mereka yang kolesterol dan trigliseridanya tidak terkontrol.
Suatu penelitian menemukan bahwa 50% penderita stroke mayor(berat), sebelumnya pernah mengalami stroke ringan atau dalam bahasa medisnya disingkat TIA = transient ischemic attac. atau sering juga disebut dengan serangan otak selintas. Gejalanya sama dengan stroke tetapi akan pulih dalam waktu kurang dari 24 jam. Jika tidak mendapat pertolongan yang adekwat maka dalam waktu 24 jam berikutnya dapat terjadi serangan stroke mayor yang biasanya akan lebih parah.
Berdasarkan penemuan data seperti itulah maka Dr. Peter R. dari Oxford university inggris menyarankan pada penderita yang mengalami TIA harus segera meminta pertolongan pertama pada unit gawat darurat yang ada. Serangan stroke mayor akan terjadi secara cepat dan lebih berat setelah serangan stroke ringan/TIA.
Studi ilmiah menunjukkan bahwa dari 1.247 pasien yang mengalami TIA, sebanyak 35 diantaranya mengalami stroke berulang/rekuren pada bulan pertama setelah TIA. Resiko stroke rekuren/berulang pada 6 jam pertama setelah TIA adalah 1,2%, setelah 12 jam adalah 2,2% dan setelah 24 jam meningkat menjadi 5%. Studi populasi ini menyimpulkan bahwa stroke kedua/ulang sewbesar 5% dan separuh dari stroke berulang ini bersifat fatal dan menimbulkan cacat.