Monday, October 29, 2012

MAKANAN TAMBAHAN PASIEN HEMODIALISA

Makanan tambahan pasien Hemodialisa

Pasien yang menjalani cuci darah 75% mengalami gangguan nutrisi. gangguan ini disebabkan beberapa hal, diantaranya yaitu asupan yang tidak adekuat dan terbuangnya vitamin dan protein saat  menjalani sesi hemodialisa.
Asupan makan tidak adekuat diantaranya karena pasien masih sering merasakan mual dan muntah. jika ureum kretinin meningkat, maka efek mual muntah akan semakin meningkat. Kemudian adanya gastropati juga menyebabkan pasien sulit untuk menghabiskan diit yang seharusnya dikonsumsi karena mengalami gejala perih, mual dan eneg saat makan.  pasien CKD yang menjalani sesihemodialisa terkadang tiodak mendapatkan informasi pola makan yang benar. Saat mereka mengalami CKD stage 1-4 dan belum menjalani hemodialisa, maka diit yang dikonsumsi adalah rendah protein (0,8 mg/kgbb). sedangkan jika sudah menjalani terapi hemodialisa konsumsi protein mereka adalah 1,2 mg/kgbb. Hal ini juga yang menyebabkan pasien mengalami mal nutrisi.
Berdasarkan pengalaman ini maka ada beberapa upaya menambah asupan protein dan vitamin dari pasien. Ada beberapa produk dari PT Kalbe Farma, PT Konimex dan Herbalife yang kami kombinasikan , dan ternyata dapat meningkatkan derajat kesehatan dan derajat nutrisi pasien. Pasien tampak lebih cerah bergairah, kadar Hb meningkat, berat badan stabil. Namun kendala selalu ada , terutama mengenai nominal harga yang harus ditebus untuk mendapatkan perbaikan kesehatan. Tetapi jika kesehatan yang menjadi tujuan utama, maka nominal bisa di nomor duakan. Konsultasikan dengan dokter Hemodialisa anda. http://www.facebook.com/wawan.eko

Kolesterol 'Baik' Tidak Selalu Baik

author : K. Tatik Wardayati
 
Banyak dipercaya, untuk mencegah penyakit jantung koroner, seseorang perlu memperhatikan kondisi kolesterol darah di dalam tubuh. Kita kemudian mengenal apa yang disebut kolesterol "baik" dan kolesterol "jahat".
Kolesterol "baik" dalam bentuk high density lipoprotein (HDL) dipercaya mampu menetralkan lawannya, kolesterol "jahat" yang berupa low density lipoprotein (LDL). LDL berasal dari otot jantung dan dikenal sebagai pembawa risiko penyakit jantung koroner.
Upaya pencegahan penyakit jantung koroner  pun mengindahkan hukum baik-buruk tadi. Misalnya, seseorang dianjurkan tidak meminum obat tertentu yang secara langsung dapat menurunkan kadar kolesterol. Sebab, lipoprotein dalam darah yang selama ini disebut masyarakat sebagai kolesterol sebenarnya kolesterol total, gabungan kolesterol "jahat", kolesterol "baik", dan kolesterol-kolesterol lainnya.
Sementara, risiko penyakit jantung koroner tidak hanya disebabkan tingginya kadar kolesterol total, tapi juga rasio kolesterol total dibandingkan dengan kadar kolesterol "baik". Jika jumlah kolesterol "baik" terlampau kecil, risiko datangnya penyakit jantung koroner menjadi lebih tinggi.
Jika kita main hantam kromo dengan menelan obat-obatan penurun kadar kolesterol, dikhawatirkan ada kolesterol "baik" ikut jadi korban. Padahal mereka dibutuhkan untuk mengurangi risiko penyakit jantung koroner.
Para peneliti juga pernah melakukan pengujian biokimia perihal dua molekul "baik" dan "jahat" itu. Hasilnya, mereka memang menemukan adanya "cara kerja" yang berseberangan. Meski kedua molekul sama-sama bekerja mengangkut kolesterol, arah yang mereka tuju ternyata berlawanan. "Si jahat" membawa kolesterol menuju pembuluh darah koroner, berbaur, dan tumbuh menjadi kepingan yang berpotensi memicu sakit jantung koroner.
Sebaliknya, "si baik" mengangkut kolesterol keluar dari pembuluh darah, mengangkatnya menuju hati, kemudian membuangnya seperti kita membuang sampah. Kabarnya, satu molekul baik HDL sanggup menumbangkan satu molekul jahat LDL. Tapi itu cerita masa lalu. Sekali lagi, masa lalu.
Dr. Daniel Rader yang melakukan penelitian paling akhir ternyata mulai meragukan peran penting kolesterol "baik" itu. "Masalahnya tak sesederhana itu," kata peneliti kolesterol di Universitas Pennsylvania, AS ini. "Benar, HDL tinggi memang menguntungkan, tapi tidak membuatnya mutlak melindungi dan membuat tubuh kebal terhadap penyakit jantung koroner," jelasnya.
Rader memberi contoh sejumlah pasiennya. "Mereka punya HDL tinggi, tapi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ujung-ujungnya, mereka juta terserang penyakit jantung," imbuh Rader, seraya menambahkan, "Makanya saya benar-benar tidak habis mengerti, jika pengobatan untuk menurunkan tingginya jumlah LDL, ditundah hanya karena HDL-nya tinggi juga."
Untuk menyembuhkan pasien jantung koronernya, Rader kini mulai mengesampingkan peran sang kolesterol "baik". Dia betul-betul berkonsentrasi pada upaya mengusir kolesterol buruk. Soalnya, menghilangkan kolesterol "jahat" butuh usaha yang jauh lebih besar ketimbang memperbanyak kolesterol "baik. Kolesterol "jahat" hanya bisa dikurangi lewat upaya medis.
Sedangkan kolesterol "baik" bisa ditingkatkan dengan pola hidup sehat, tidak merokok, berolahraga teratur, menjaga berat badan dan pola makan, serta mengonsumsi vitamin dalam buah dan sayur yang kaya antioksidan. Tingkat HDL rata-rata untuk pria biasanya 40 - 50 mg/dl, sedangkan wanita 50 - 60 mg/dl.
Di Amerika Serikat, jika kolesterol "buruk" seseorang masih sekitar atau mendekati 100 mg/dl, masih dibilang aman. Tapi jika mencapai 100 - 129 mg/dl, sudah masuk kategori di atas angka optimal.
Terakhir, kalau peningkatannya jauh lebih pesat, sampai di atas 130 mg/dl, sebaiknya berhati-hati, karena sudah kelewat tinggi. Apalagi jika kadar kolesterol "baik"-nya juga lebih kecil. Atau, jumlah sama, tapi seperti disitir Rader, cuma bisa "menonton"dari kejauhan.
Kesehatan bisa di upayakan dari pengaturan berat badan. Atur berat badan anda supaya tetap sehat, seimbang karbohidrat, vitamin  dan mineral. Salah satu ciri tubuh yang sehat adalah mempunyai proporsi dan berat tubuh ideal. Segera hubungi dokter anda untuk mengatur berat badan anda.. http://www.facebook.com/wawan.eko

Sunday, October 28, 2012

Proteinuria as a marker of CKD Severity (Stage 3 orc4 before Renal Replacement Therapi)

The role of proteinuria in the progression to kidney failuire has been well established, and the severity of renal disease is positively correlated with the level of proteinuria. More recenly, several studies have shown that proteinuria is also one of the most important and independent factor of cardiovascular morbidity and mortality.
A lowering effect of proteinuria by 58% due to adherence to marked protein-restricted diet has been reported by Di Iorio et al. A proaspective, randomized, controled, crosover trial evaluated the terapetic efficacy of a keto/amino acid supplemented VLPD in comparison with an LPD in a group[ ohf CKD patient (stage 4 or 5) exhibiting a persistent proteinuria higher than 3 g/day. This study demonstrated that a keto/amino acid supplemented VLPD reduce both proteinuria and serum advanced glycation end product- even in the presence of complete inhibition of the renin-angiotensin system in patien with moderate to advanced CKDand severe proteinurtia.
A study by Chang at al. investigated whether keto/amino acid suplementatioan during an LPD retards progession of CKD and maintain nutritional status in nutritionally well-trained CKD patyients.A group of 120 diabetic and nondiabetic CKD (stage 3 or 4) patients were assignedto asn LPD alone or to a Ketosteril -supplemented LPD for  6 months. The author showed that keto/amino acid supplementation in additional to LPDs delyaed the progression of CKD without deteriorating nutritiopnal status, and patiens with diabetees or those with a better nutritional status showed a greater likelihood of beneffiting from the diet.
Even if dialisis is a well-established life-saving therapy, it is associated with a high economic burden and clinically severe complication-especially in elderli patients (age>70 year). additionally, health and economic benefit could derive from postponing dialysis treatment by the implementation of a VLPD supplemented with keto/ amino acids (sVLPD). A randomized controlled clinical trial performed by Brunori et al. has shown that elderly  stage 5 CKD patients on sVLPDs were able to delay the initiation of dialysis for 1 year, on average, with no negative consequence with respect to morbidity an mortality. By using this data, a recent analysis aimed to estimetae and compare cost and benefits of dialysis versus sVLPD treatmentfrom the perspective of the italian National health Service in elderly patients effected by stage 5 CKD. data of 57 patients with non diabetic CKD (gromelural filtration rate: 5 to 7 mL/mnt/1.73m2) were analyzed with respect to costs for dialysis treatment and hospitalization by using the diagnosis-related group tariffts 9e.g vascular/peritoneal acces/complications), drugs, laboratory/instrumental tests,medical visitsand cost of patientn's travel for a period of 3.2 year. The opportunity to safely postpone initiation of dialysis of 1 year/patient, on average, translated into an economic benefit to the National Health Service, corresponding to 21,180$/patient in the first, 6,500$/patient in the second and 683$/patient in the third year of treatmen

Sunday, September 9, 2012

MINUM  TEH

Sejak dulu minum teh di kabarkan banyak memberikan manfaat bagi kesehatan. Teh memang telah terbukti memiliki nilai antioksidan  yang cukup baik. Teh juga memiliki zat diuretik, sehingga bagus untuk kesehatan ginjal.
namun ada yang luput dari penilaian minum teh ini. Ternyata berdasarkan beberapa penelitian, minum teh dalam kondisi dingin ( Es Teh) memiliki nilai negatif. Minum teh dalam kondisi dingin (es teh ), akan meningkatkan resiko batu ginjal. Teh dalam keadaan dingin akan mengendapkan ca oksalat yang merupakan cikal bakal terbentuknya batu ginjal ca oksalat. Sebaiknya teh diminum dalam keadaan hangat.
Bagaimana dengan anda? masih ingin mengkonsumsi es teh setelah makan soto dan bakso?