Friday, August 14, 2009

TB dan HIV

TB - HIV

M. Syahril Mansyur*, Agus Suharto*, Riana Sari*
*Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat (BBKPM) Surakarta



PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan dunia dan lebih banyak terjadi di negara berkembang. Diperkirakan 8 juta kasus TB terjadi setiap tahun yang dua pertiganya di Asia dan Pasifik. Menurut data regional World Health Organization (WHO) jumlah terbesar kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia. Di Indonesia, TB merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien TB di Indonesia tertinggi di dunia setelah India dan Cina. Masalah kesehatan tersebut semakin bertambah kompleks akibat komplikasi infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Human immunodeficiency virus (HIV) tidak hanya mempersulit diagnosis TB tetapi juga meningkatkan insidensi TB.
Data World Health Organization (WHO) tahun 2007 menunjukan, terdapat 33,2 juta orang di dunia yang hidup dengan HIV. Pada tahun ini saja telah terjadi 2,1 juta kematian akibat AIDS, dan 2,5 juta kasus HIV baru. Di banyak wilayah di dunia, infeksi baru HIV terkonsentrasi pada kelompok umur dewasa muda (15-24 tahun). Di Asia jumlah penderita HIV meningkat lebih dari 150%. Indonesia adalah negara di Asia dengan pertumbuhan epidemi HIV tercepat. Hingga September 2007 di Indonesia tercatat sekitar 170.000 orang yang terinfeksi HIV. Jika pada tahun 1988 tidak tercatat adanya infeksi yang terdeteksi pada pengguna napza suntik, maka pada tahun 2006, dalam survei yang dilakukan Departemen Kesahatan RI, terdapat 1517 pengguna napza suntik terinfeksi oleh HIV. Dari studi-studi yang dilakukan, tercatat bahwa pengguna napza suntik memiliki kebiasaan berisiko tinggi seperti menggunakan peralatan yang tidak steril dan melakukan hubungan seks tanpa perlindungan dengan beberapa pasangan. Pola penyebaran umumnya melalui napza suntik (54,67%), hubungan heteroseksual (40,43%), dan perinatal (2,59%).
Ko-infeksi TB/HIV saat ini menjadi salah satu kendala besar dalam upaya penanggulangan kedua penyakit tersebut. TB merupakan penyebab utama kematian pada orang dengan HIV, dan sebaliknya infeksi HIV menjadi faktor risiko terbesar dalam konversi kasus TB laten menjadi TB aktif. Pada tahun 2006, diperkirakan 709.000 (8%) dari 9,2 juta kasus TB baru adalah penderita HIV dan 200.000 (12%) kematian dari 1,7 juta kematian karena TB terjadi pada penderita HIV. Ko-infeksi TB/HIV merupakan masalah besar yang harus dihadapi negara-negara di seluruh dunia. Sekitar 50% ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) menderita TB, dan sekitar 40 juta orang di dunia terkena ko-infeksi TB/HIV. Di Asia Tenggara sendiri diperkirakan hampir 6 juta ODHA dewasa berpotensi mengalami koinfeksi dengan TB.


IMUNOPATOGENESIS KOINFEKSI TB DAN HIV/AIDS

Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) disebabkan oleh infeksi human immunodeficiency virus (HIV) yang terdiri atas HIV-1 dan HIV-2. AIDS paling banyak disebabkan oleh HIV-1. HIV menginfeksi sel limfosit CD4 yang berperan dalam sistem imunitas. Tuberkulosis (TB) disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis (M. Tb). Infeksi dimulai dengan inhalasi droplet nuklei yang mengandung M. Tb yang tidak dapat ditangkap oleh sistem pertahanan mukosilier bronkus dan masuk ke alveoli. Di dalam alveoli kuman ditangkap makrofag alveoli, kuman akan bermultiplikasi hingga mencapai jumlah tertentu yang akan mengaktivasi sel limfosit T. Antigen kuman dipresentasikan oleh Major histocompatibility complex class I (MHC I) ke sel CD8 dan oleh MHC II ke sel CD4. Sel CD4 terdiri atas Th1 dan Th2 yang masing-masing menghasilkan sitokin yang berperan dalam sistem imunitas. Respon imunitas pada infeksi M. Tb meliputi cell mediated immunity (CMI) dan delayed type hypersensitivity (DTH), kedua respon imunitas tersebut bertujuan untuk melokalisisr infeksi dan membunuh M. Tb.
Pada individu normal terjadi keseimbangan yang rentan antara imunitas host dan M. Tb. Sel CD4 dan makrofag sangat berperan dalam respon imunitas terhadap M. Tb. Infeksi HIV menyebabkan depresi dan disfungsi progresif sel CD4 dan defek pada fungsi makrofag. Akibatnya pasien HIV mempunyai risiko tinggi untuk reaktivasi TB laten menjadi TB aktif dan peningkatan risiko terinfeksi baru TB. Pada infeksi HIV lanjut kadar CD4 sangat rendah sehingga terjadi gangguan respon imunitas baik CMI dan DTH, akibatnya replikasi M. Tb meluas tanpa disertai pembentukan granuloma, nekrosis perkejuan maupun kavitas. Ini menyebabkan diagnosis TB lebih sulit karena gambaran radiologisnya tidak seperti umumnya penderita TB tanpa HIV. TB diseminata atau TB ekstra paru sering terjadi tetapi kelainan TB paru masih merupakan kelainan TB yang lebih sering terjadi. Status HIV negatif meningkatkan risiko berkembangnya TB 5-10%, sedangkan status HIV positif meningkatkan risiko berkembangnya TB 50%. Dibandingkan individu yang tidak terinfeksi HIV, individu dengan HIV mempunyai risiko 10 kali lebih besar untuk berkembangnya TB.


DIAGNOSIS TUBERKULOSIS KOINFEKSI HIV/AIDS

Penegakan diagnosis TB koinfeksi HIV/AIDS pada prinsipnya sama dengan pasien TB tanpa HIV/AIDS hanya saja perlu mendapat perhatian khusus untuk pemeriksaan HIV/AIDS. Untuk menegakkan diagnosis TB koinfeksi HIV/AIDS diperlukan langkah-langkah berupa anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis
Gejala klinis tuberkulosis dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala respiratorius dan gejala sistemik. Gejala respiratorius meliputi batuk ≥ 2 minggu, batuk darah, sesak napas, nyeri dada. Gejala respiratorius ini bervariasi tergantung dari luas lesi. Gejala sistemik TB yaitu demam hilang timbul, malaise, keringat malam hari, anoreksia dan berat badan menurun. Baik gejala respiratorius dan sistemik TB dapat ditemukan pada penyakit lain, untuk itu diperlukan pemeriksaan lanjutan.
Penderita yang dicurigai terinfeksi HIV/AIDS selain anamnesis tentang gejala yang berhubungan dengan infeksi HIV seperti demam lebih dari 1 bulan, berat badan turun, diare lebih dari 1 bulan juga harus ditanyakan tentang faktor risiko HIV/AIDS antara lain riwayat pengguna jarum suntik, narkoba, riwayat suka berganti pasangan, riwayat transfusi, riwayat pekerjaan sebagai pekerja seks.

Pemeriksaan fisis
Perlu dicatat keadaan umum, kesadaran dan status gizi pasien. Hasil pemeriksaan paru tergantung luas kelainan paru. Perlu diperiksa ada tidaknya pembesaran getah bening, keadaan mulut dan gigi juga perlu diteliti apakah ada selaput putih, ulkus (kandidiasis) atau bercak berwarna keunguan akibat sarkoma kaposi serta tanda kaku kuduk yang dicurigai meningitis. Keadaan lengan dan tungkai juga perlu diperiksa apakah ada tanda-tanda bekas jarum suntik, bercak-bercak atau ulkus di kulit akibat sarkoma kaposi. Tabel berikut menampilkan sistem penderajatan klinis infeksi HIV pada orang dewasa, menurut WHO.

Sebagai surveilans kasus HIV/ AIDS bila ditemukan 2 tanda mayor dan minimal 1 tanda minor :
Tanda mayor
1. Penurunan berat badan > 10%
2. Diare kronik > 1 bulan
3. Demam lama > 1 bulan
Tanda minor
1. Batuk persisten > 1 bulan
2. dermatitis pruritik generalisata
3. Riwayat herpes zoster
4. Kandidiasisorofaringeal
5. Infeksi herpes simpleks diseminata atau progresif kronik
6. limfadenopati generalisata
Ditemukannya sarkoma kaposi generalisata atau meningitis kriptokokal cukup untuk mendefinisikan kasus AIDS.

Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan bakteriologi
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan M. Tb pada pemeriksaan sediaan langsung dan atau biakan dahak. Pemeriksaan dahak idealnya dilakukan 3 kali SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu).
2. Pemeriksaan radiologi
Gambaran TB pada infeksi HIV dini antara lain ditemukan infiltrat di lobus atas, kavitas atau efusi pleura unilateral. Pada infeksi HIV lanjut ditemukan gambaran atipik yaitu infiltrat di lobus bawah, milier, infiltrat di daerah hilus, pembesaran (adenopati) hilus atau paratrakeal.
3. Pemeriksaan penunjang lain
a. Uji tuberkulin
Menggunakan standar tuberkulin 1:10.000/5 TU PPD-S intrakutan yang dibaca 48-72 jam dengan indurasi > 5 mm. Uji tuberkulin negatif belum dapat menyingkirkan TB. False negatif pada pemeriksaan uji tuberkulin sering ditemukan pada pasien HIV dan kejadiannya meningkat sebanding dengan peningkatan imunosupresi.
b. Kultur/ biakan bakteri M tb
Dianjurkan bila fasilitas memungkinkan spesimen diperiksa.
c. Analisis cairan pleura
d. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi
e. Uji serologi (ELISA) untuk mengetahui ada tidaknya infeksi HIV
f. Hitung limfosit CD4
Jumlah CD4 mencerminkan status imunitas pasien. Penderita HIV/AIDS perlu diperiksa jumlah CD4 karena infeksi HIV menyerang sistem ini. Hasil pemeriksaan jumlah CD4 berguna untuk menentukan pengobatan TB-HIV/AIDS selanjutnya.

Pasien TB yang perlu dilakukan pemeriksaan HIV adalah pasien yang mempunyai risiko tinggi terinfeksi HIV, hasil pengobatan OAT yang tidak memuaskan (contoh: TB kronik), multi drug resistance (MDR) TB. Demikian juga bila di fasilitas kesehatan menemukan pasien terinfeksi HIV/AIDS perlu dibuktikan ada tidaknya TB paru. Dengan adanya kerjasama yang baik antara program TB dan program HIV/AIDS dapat menurunkan beban pasien TB-HIV/AIDS. Setiap pemeriksaan HIV harus disertai konseling sebelum dan sesudah pemeriksaan, oleh karena itu diperlukan VCT ( Voluntary Counselling Test ) dan PITC (Provider Initiated Testing and Counselling) di setiap pelayanan kesehatan.


PENGOBATAN TUBERKULOSIS KOINFEKSI HIV/AIDS

Tata laksana pengobatan pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya (tabel 3). Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB tanpa HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB dengan menggunakan kombinasi beberapa jenis obat, dosis yang tepat serta dalam jangka waktu yang tepat. Pengobatan anti retroviral (ARV) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV dengan memperhatikan jumlah limfosit CD4 sesuai dengan standar WHO serta kemampuan ekonomi pasien karena obat ini diberikan jangka panjang (tabel 4). Penggunaan suntikan streptomisin harus memperhatikan prinsip-prinsip kewaspadaan-keamanan universal. Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu unit pelayanan kesehatan (UPK) untuk menjaga kepatuhan pengobatan.

KESIMPULAN

1. Ko-infeksi TB/HIV menjadi salah satu kendala besar dalam upaya penanggulangan kedua penyakit tersebut.
2. Infeksi HIV menyebabkan depresi dan disfungsi progresif sel CD4 dan defek pada fungsi makrofag.
3. Pasien HIV mempunyai risiko tinggi untuk reaktivasi TB laten menjadi TB aktif dan peningkatan risiko terinfeksi baru TB.
4. Diagnosis TB pada individu dengan HIV/AIDS lebih sulit karena gambaran radiologisnya tidak seperti umumnya penderita TB tanpa HIV.
5. Pengobatan pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya.
6. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB dengan menggunakan kombinasi beberapa jenis obat, dosis yang tepat serta dalam jangka waktu yang tepat.
7. Pengobatan anti retroviral (ARV) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV dengan memperhatikan jumlah limfosit CD4 sesuai dengan standar WHO serta kemampuan ekonomi pasien karena obat ini diberikan jangka panjang.
8. Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu unit pelayanan kesehatan (UPK) untuk menjaga kepatuhan pengobatan.


DAFTAR PUSTAKA

1. WHO Report 2003. Global Tuberculosis Control. Surveillance, Planning, Financing. Available at: http//www.who.int/ tb/publications/globrep02/index.html. WHO/CDS/TB/2002.245. Accessed on January 24th, 2004.
2. Nurain JP, Ru Lo Y. Epidemiology of HIV TB in Asia. Indian J Med Res 2004; 277-89.
3. Tuberkulosis. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006.
4. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, eds 2. Jakarta, Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2008.
5. AIDS epidemic update: December 2002, Geneva, Joint United Nations Programme on HIV/AIDS, (UNAIDS) and World Health Organization; 2002.
6. Pedoman Nasional Kebijakan Kolaborasi TB/HIV, eds 1. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2007.
7. WHO. TB/HIV a clinical manual. WHO library cataloging in publication data. 2004.
8. UNAIDS/WHO policy statement on HIV testing. June 2004.

2 comments:

  1. begini saya penderita tb, dan mau tanya : apakah pasien penderita tb bisa terjangkit hiv? walau si penderita masih bujang, tidak pernah berhubungan dengan wanita,tidak pernah pake narkoba suntik dan tato.

    ReplyDelete
  2. Infeksi Tb dan HIV beda penularannya. TB lewat secret saluran nafas yang ditularkan lewat udara. HIV dirularkan lewat secret/cairan tubuh (darah, sperma, lendir vagina). Penderita HIV akan mudah terkena TB, tapi penderita TB resikonya sama dengan orang sehat jika ada riwayat kontak darah (jarum, tranfusi) atau kontak seksual dengan penderita AIDS. Selama tidak ada kontak darah/ seksual..... HIV jauhhh.

    ReplyDelete